Featured Video

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

June 02, 2011

Harga Diri

"Aku sedih, kecewa. Aku merasa galau dan lebih pendiam dari biasanya. Gairah hidupku menurun drastis. Suatu hari di tengah rapuh perasaanku, aku ke luar dari rumah dan bertemu lelaki itu tanpa sengaja."

Surti: Aku merasa malam menjadi sangat panjang. Aku ingin cepat meraih pagi, bertemu matahari agar aku bisa mendengar suaranya menyapa gendang telingaku dan menemu wajahnya yang selalu membayang di pelupuk mataku.

Cahaya fajar seolah membangunkanku dari tidur. Aku segera beranjak dari tempat tidur dan mulai membenahi pekerjaan rumah. Mengumpulkan semua pakaian kotor di dalam sebuah ember dan menuangkan bubuk detergen secukupnya. Setelah itu kusibak gordyn jendela. Kubuang puntung rokok Ardi di dalam asbak dan beberapa bekas bungkus kacang atom. Kucuci gelas bekas minuman kopi Ardi bersama gelas dan piring kotor lainnya.

Setelah melaksanakan sholat Shubuh aku menjerang air, menyapu rumah kemudian mulai mencuci. Sepanjang tanganku bergerak di atas tumpukan pakaian kotor, aku merasa ada yang berbeda dalam hidupku. Aku menjadi lebih bersemangat menjalani rutinitasku. Aku juga merasa enjoy dengan diri dan hidupku. Dari bibirku mengalun sebuah lagu happy.

“Cinta satu malam, oh indahnya. Cinta satu malam buatku bahagia…” “Gembira sekali kau hari ini, Tik. Pasti hatimu lagi senang ya,” Ardi tiba-tiba muncul di depan pintu kamar mandi. Kehadirannya mengejutkanku. “Memangnya artis saja yang boleh menyanyi, Bang?” jawabku. Cepat-cepat kuselesaikan cucian dan menyiapkan sarapan untuk Ardi.

Selagi memasak mie telor, Ardi yang sudah selesai mandi berdiri di belakangku. “Sejauh mana terapi yang sudah kau lakukan, Tik? Apa kata tabib yang mengobatimu?” tanyanya. “Aku disuruh rajin terapi dan secara teratur minum obat yang diraciknya, Bang,” kataku menunjuk sebuah gelas yang berisi ramuan dari beberapa tumbuhan tradisional. “Dia mengatakan kapan kau akan hamil?” tanyanya lagi.

Aku memindahkan mie telur ke sebuah piring. “Dia tidak pernah memastikan kapan aku bisa hamil, Bang. Kehamilan itu kan merupakan rahasia Tuhan, yang penting kita tetap berusaha untuk bisa punya anak,” “Apa perlu kita mencobanya pagi ini sebelum aku berangkat ke pabrik, Tik?” bisik Ardi sambil memelukku dari belakang. Hatiku berdebar. “Jangan sekarang, Bang. Pagi ini aku harus terapi lagi,” ujarku melepaskan diri.

Ardi menatapku agak lama, sebelum menghabiskan sarapannya. Aku hanya makan sedikit. Pikiranku tertuju ke tempat lain.

Aku ke luar dari rumah dengan hati-hati, seperti seekor kucing yang ingin mengambil sesuatu di rumah tuannya dan takut ketahuan mencuri. Jantungku berdegup lebih cepat, rasanya ingin cepat sampai ke tujuan. Perasaanku berubah menjadi amat lega, ketika dari bangku angkot yang membawaku aku melihat lelaki itu ada di simpang jalan. “Kau selalu terlambat. Selalu aku yang lebih dulu sampai,” katanya. “Tentu saja kau lebih awal sampai. Kau tidak harus mengerjakan apa-apa di rumah seperti aku,” sahutku sambil duduk di boncengan sepeda motornya.

Kami berangkat menuju sebuah lokasi yang direncanakan Iwan. Berada di pinggiran kota, bukan saja nyaman untuk berteduh dari panas dan hujan, tetapi juga terletak di sebuah bukit yang di bawahnya mengalir sungai. Di sekitarnya ditumbuhi pohon dan bunga-bunga yang indah. Angin bertiup lembut membawa nuansa kesejukan. Sesekali terdengar suara burung-burung yang menyatu dengan nuansa alam.

“Wan, kenapa ya aku selalu terngiang-ngiang kata-kata Kak Mirna? Aku tak ubahnya kue bolu yang bantut. Aku seperti ladang kering yang tidak menghasilkan tanaman. Mungkin baginya aku seperti gurun pasir yang gersang.” “Hei, dengar. Kau tidak seperti itu. Kalau kau sakit, pasti ada obat yang akan menyembuhkanmu. Begitu juga kalau kau ingin hamil, banyak cara yang dapat kau lakukan untuk mencapai keinginanmu. Lagipula tidak sepantasnya kakak iparmu terlampau ikut campur dalam urusan rumah tangga kalian,” “Kau orang yang paling memahamiku, Wan. Kalau tak ada kau, entah bagaimana rapuhnya aku.” “Kau harus yakin. Aku akan mengobatimu. Kau harus rajin mengikuti arahanku, mengkomsumsi ramuan yang telah kuracik. Aku akan terus berusaha untuk mewujudkan impianmu.”

Aku menganggukkan kepala, menatap lelaki di hadapanku tanpa canggung. Sebelum kami bisa sedekat ini, acapkali aku merasa ditikam sunyi dan hampa, seolah aku tenggelam di antara keramaian dunia. Lima belas tahun menikah tanpa kehadiran seorang anak dari rahimku membuat cap jelek terarah padaku.

Aku sedih, kecewa. Aku merasa galau dan lebih pendiam dari biasanya. Gairah hidupku menurun drastis. Suatu hari di tengah rapuh perasaanku, aku ke luar dari rumah dan bertemu lelaki itu tanpa sengaja. Entah kenapa lelaki itu seolah dapat merasakan apa yang kurasakan. Kata-katanya menentramkan hatiku. Perhatiannya membuatku seperti disiram kesejukan.

“Surti, kau sedang memikirkan apa? Sudahlah, kau jangan terlalu keras berfikir. Aku tidak suka melihat wajah cantikmu berubah tegang dan lelah,” lelaki itu menyentuh kepalaku tanpa malu-malu dan membelai rambutku.

Aku mengangguk. Kali ini kubenamkan kepalaku di dadanya.

Ardi: Senja mulai jatuh, matahari sebentar lagi beranjak ke peraduannya. Sejak ke luar dari pabrik tempatku bekerja, hatiku tidak tenang. Setiapkali Surti pergi untuk terapi, dia akan pulang setelah maghrib, karena harus mengantri di tempat praktek tabib.

Sembari mengendarai sepeda motorku di jalan, aku memikirkan Surti. Tiba-tiba hatiku dilanda resah. Sejak awal sampai sekarang, aku tidak pernah diikutsertakan menjalani terapi. Surti tidak pernah memberiku ramuan khusus agar dapat kukomsumsi. Bukankah sebagai suami Surti, aku harusnya ikut juga diperiksa? Sampai sekarang aku bahkan tidak tahu seperti apa tabib yang menerapi Surti. Demi melihat semangat yang menyala di dalam dirinya, aku menahan diriku untuk bertanya padanya.

Aku kini tidak akan tinggal diam. Aku akan terus memantau gerak gerik Surti. Aku ingin sekali tahu tentang apa dan bagaimana terapi yang dilakukannya selama ini. Aku tidak ingin terus membiarkan perasaan tidak menentu bersarang di dalam hatiku.

Surti: Bau busuk itu tercium juga, meski sepandai-pandainya aku menutupinya. Ardi melihatku sedang berboncengan bersama lelaki itu di jalan. Aku gemetar, seluruh tubuhku ikut bergetar. Sampai di rumah aku tak sanggup mengangkat wajahku di depannya. Sapu yang kupegang terjatuh. Gelas berisi kopi yang akan kuberikan untuk Ardi terlepas dari tanganku, terpelanting jatuh dan pecah di lantai, isinya tumpah dan mengenai celana jeans Ardi. Belum pernah aku merasa ketakutan seperti ini. “Siapa laki-laki itu, Tik? Kenapa kau bisa berada di boncengannya? Jadi selama ini kau telah membohongiku dengan minta izin keluar rumah untuk terapi, nyatanya kau pergi bersama laki-laki itu?” suara Ardi berubah keras dan diwarna emosi.

Aku tidak bisa berkutik. Diam bagai patung. Seperti seekor kucing yang telah ketahuan oleh tuannya mencuri ikan dan dimarahi habis-habisan. Ardi terus memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaannya. Seperti rentetan bunyi senjata yang dilepas seorang aktor di film laga terhadap musuh-musuhnya. Apalah dayaku, tanpa menunggu waktu lama aku pun mengungkapkan semuanya.

Kuceritakan dari awal aku bertemu lelaki itu, bagaimana dia memperhatikanku dan seolah mengetahui seluk beluk rahimku yang sunyi. Dia bahkan mempunyai cara untuk mewujudkan impianku memiliki keturunan. Entah kenapa aku begitu mempercayainya, mengikuti semua arahannya. Sampai-sampai kuberikan apa yang seharusnya selalu kujaga dan kuharamkan buat orang lain kepadanya.

Sunyi. Tak ada makian atau pukulan Ardi mengenai anggota tubuhku. Tiba-tiba aku seperti dibangunkan dari sebuah mimpi buruk. Kupeluk tubuh Ardi yang geming, kucium tangannya bercampur linangan air mataku. Terduduk aku di atas lantai, memeluk lututnya sembari mengucapkan kata maaf yang mungkin terdengar sumbang di telinganya. Tubuhnya membalik dariku, lalu terdengar rintihan suara tangisnya disertai suara pukulan tangannya ke dinding rumah kontrakan kami.

Ardi: “Kau hanya punya dua cara, memaafkannya atau menceraikannya. Tinggal kau pilih yang mana. Terserah kau. Asal kau jangan nekat membunuh orang. Seumur hidup kau tak akan tenang.” Sebuah suara bergaung dari bilik hatiku yang tengah mengusung amarah dan sakit hati. Aku geming sekian lama, tak tahu apa yang harus kulakukan dan apa yang harus kupikirkan.

Bagaimanapun aku tidak akan menyalahkan istriku atas semua ini. Aku sangat mengenal Surti selama lima belas tahun perkawinan kami, ditambah masa pacaran selama dua tahun. Mungkin ketika Surti sedang rapuh dan butuh pegangan atas problem yang terjadi dalam rumah tangga kami, laki-laki itu hadir seolah menjadi pahlawan baginya. Dia membuat surti melupakan aku, rumah tangga kami dan segala-galanya. Bagi Surti kini lelaki itulah segalanya. Lelaki yang tidak jelas pekerjaannya dan tinggal di sebelah kelurahan kami bersama istri dan anaknya.

Aku tidak akan menyakiti surti, karena aku mencintainya, tapi aku membenci lelaki itu. Tidak pernah aku sangka, di balik terapi Surti selama ini, Iwanlah yang berperan sebagai aktor sekaligus sutradara untuk semua kebohongan yang diciptakannya. Tabib palsu, bohong-bohongan, fiktif. Tabib kurang ajar.

Tidak perlu ada kompromi atau negosiasi untuk sebuah langkah menebus harga diri! Itu yang ada dalam pikiranku kini. Tiba-tiba terlintas rencana-rencana di otakku. Lelaki itu saja bisa menjadi sutradara yang ulung, kenapa aku tidak?

Surti: “Tunggu aku di simpang jalan itu. Kita harus bertemu. Aku kangen kau,” hatiku berdebar kencang membaca sms dari Iwan. Aku menggeleng kuat. Tidak mungkin, bisik hatiku. Aku tidak memiliki keberanian untuk menemui lelaki itu lagi. Sungguh! Tapi Ardi memberitahukan kalau dia lembur malam ini, bisik hatiku lagi. Aku akhirnya memilih untuk pergi.

Sampai di simpang jalan itu, mataku membelalak lebar. Seketika tangisku pecah. Langit di atasku seakan rubuh menimpaku. Di antara keramaian orang-orang, aku melihat dua tubuh lelaki tergeletak penuh memar dan bersimbah darah. Apa yang terjadi? Ardi, bagaimana dia bisa berada di tempat ini, sedangkan dia mengatakan lewat sms bahwa dia akan lembur malam ini? Dan Iwan, bagaimana dia bisa mengirimkan pesan singkat yang beberapa menit lalu kuterima? Aku jatuh terjerembab di tanah dengan kecamuk tanya yang tidak mampu aku temukan jawabannya.

Tiba-tiba di tengah deras air mataku, aku merasakan tubuh Ardi bergerak di pangkuanku. Separuh matanya yang memar dan terluka menatapku.

“Surti sayang, aku menang. Aku telah mengalahkan lelaki itu lewat pertarungan yang hebat. Aku menang, Tik,” lalu mata itu kembali terpejam.

http://bit.ly/iMdOnK

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More