
Ide awal obrolan Warkop Prambors berawal dari dedengkot radio Prambors,  Temmy Lesanpura. Radio Prambors meminta Hariman Siregar, dedengkot  mahasiswa UI untuk mengisi acara di Prambors. Hariman pun menunjuk  Kasino dan Nanu, sang pelawak di kalangan kampus UI untuk mengisi acara  ini. Ide ini pun segera didukung oleh Kasino, Nanu, dan Rudy Badil, lalu  disusul oleh Dono dan Indro.
Rudy yang semula ikut Warkop saat  masih siaran radio, tak berani ikut Warkop dalam melakukan lawakan  panggung, karena demam panggung (stage fright). Untuk hal itu, Rudy  mengaku "Pernah sekali saya coba di panggung TIM, saya menyadari bahwa  saya tidak mampu. Setelah itu ya nggak usah saja,"
Dono pun  awalnya saat manggung beberapa menit pertama mojok dulu, karena masih  malu dan takut. Setelah beberapa menit, barulah Dono mulai ikut  berpartisipasi dan mulai kerasan, hingga akhirnya terus menggila hingga  akhir durasi lawakan. Indro adalah anggota termuda, saat anggota Warkop  yang lain sudah menduduki bangku kuliah, Indro masih pelajar SMA.
Pertama  kali Warkop muncul di pesta perpisahan (kalau sekarang prom nite) SMP  IX yang diadakan di Hotel Indonesia. Semua personil gemetar, alias demam  panggung, dan hasilnya hanya bisa dibilang lumayan saja, tidak terlalu  sukses. Namun peristiwa di tahun 1976 itulah pertama kali Warkop  menerima honor yang berupa uang transport sebesar Rp 20.000. Uang itu  dirasakan para personil Warkop besar sekali, namun akhirnya habis untuk  menraktir makan teman-teman mereka.
Berikutnya mereka manggung di  Tropicana. Sebelum naik panggung, kembali seluruh personel komat-kamit  dan panas dingin, tapi ternyata hasilnya kembali lumayan.
Baru  pada acara Terminal Musikal (asuhan Mus Mualim), grup Warkop Prambors  baru benar-benar lahir sebagai bintang baru dalam dunia lawak Indonesia.  Acara Terminal Musikal sendiri tak hanya melahirkan Warkop tetapi juga  membantu memperkenalkan grup PSP (Pancaran Sinar Petromaks), yang  bertetangga dengan Warkop. Sejak itulah honor mereka mulai meroket,  sekitar Rp 1.000.000 per pertunjukan atau dibagi empat orang, setiap  personil mendapat no pek go ceng (Rp 250.000).
Mereka juga jadi  dikenal lewat nama Dono-Kasino-Indro atau DKI (yang merupakan pelesetan  dari singkatan Daerah Khusus Ibukota). Ini karena nama mereka sebelumnya  Warkop Prambors memiliki konsekuensi tersendiri. Selama mereka memakai  nama Warkop Prambors, maka mereka harus mengirim royalti kepada Radio  Prambors sebagai pemilik nama Prambors. Maka itu kemudian mereka  mengganti nama menjadi Warkop DKI, untuk menghentikan praktek upeti itu.
Dari  semua personil Warkop, mungkin Dono lah yang paling intelek, walau ini  agak bertolak belakang dari profil wajahnya yang 'ndeso' itu. Dono  bahkan setelah lulus kuliah menjadi asisten dosen di FISIP UI tepatnya  jurusan Sosiologi. Dono juga kerap menjadi pembawa acara pada acara  kampus atau acara perkawinan rekan kampusnya. Kasino juga lulus dari  FISIP. Selain melawak, mereka juga sempat berkecimpung di dunia pencinta  alam. Hingga akhir hayatnya Nanu, Dono, dan Kasino tercatat sebagai  anggota pencinta alam Mapala UI.
Setelah puas manggung dan  mengobrol di udara, Warkop mulai membuat film-film komedi yang selalu  laris ditonton oleh masyarakat. Dari filmlah para personil Warkop mulai  meraup kekayaan berlimpah. Dengan honor Rp 15.000.000 per satu film  untuk satu grup, maka mereka pun kebanjiran uang, karena hampir tiap  tahun mereka membintangi satu film di dekade 1980-an. Malah beberapa  tahun ada dua film Warkop sekaligus.
Kelebihan Warkop  dibandingkan grup lawak lain, adalah tingkat kesadaran intelektualitas  para anggotanya. Karena sebagian besar adalah mahasiswa (yang kemudian  beberapa menjadi sarjana), maka mereka sadar betul akan perlunya  profesionalitas dan pengembangan diri kelompok mereka.
Ini  dilihat dari keseriusan mereka membentuk staf yang tugasnya membantu  mereka dalam mencari bahan lawakan. Salah satu staf Warkop ini kemudian  menjadi pentolan sebuah grup lawak, yaitu Tubagus Dedi Gumelar alias  Miing Bagito.
Saat itu Miing mengaku bahwa ia ingin sekali  menjadi pelawak, dan kebetulan ia diterima menjadi staf Warkop. Kerjanya  selain mengumpulkan bahan lawakan, melakukan survei lokasi (di kota  atau daerah sekitar tempat Warkop akan manggung), kalau perlu melakukan  pekerjaan pembantu sekalipun seperti menyetrika kostum para personil  Warkop. Ini dilakukan Miing dengan serius, karena ia sadar disinilah  pembelajaran profesionalitas sebuah kelompok lawak. Miing sempat ikut  dalam kaset warkop dan film warkop, sebelum akhirnya membentuk kelompok  lawak sendiri bersama Didin (saudaranya) dan Hadi Prabowo alias Unang  yang diberi nama Bagito (alias Bagi Roto).
Dalam era televisi  swasta dan menurunnya jumlah produksi film, DKI pun lantas memulai  serial televisi sendiri. Serial ini tetap dipertahankan selama beberapa  lama walaupun Kasino tutup usia di tahun 1997. Setelah Dono juga  meninggal di tahun 2001, Indro menjadi satu-satunya personel Warkop.  Sedangkan Nanu sudah meninggal lebih lama karena sakit liver dan  dimakamkan di TPU Tanah Kusir Jakarta.
Warkop
June 01, 2011
Sejarah Berdirinya Warkop
09:34
  aziz
  
 












